Join Ardo's empire

Kemana Masa Depan Tuhan

“Apa semua sudah berakhir?” kalimat tersebut menyelinap dalam hamparan malam yang memenuhi jagad alam. Buku-buku berserakan menjadi peneduh di dalam ruangan 3×4 meter tersebut. Ada beberapa poster pemain sepak bola dan ada juga foto-foto Bung Karno yang menempel di dinding ruangan yang tak pernah sepi dengan renungan penghuninya.
Dua gelas kopi hitam panas ada dihadapan mereka berdua. Telah lama mereka tak menghirup harum kopi yang konon dapat menahan kantuk itu. Di bulan puasa seperti ini, kopi menjadi sesuatu yang sangat dirindukan oleh para penggemarnya. Di kala siang, terlelap dalam rasa lelah mereka tak lagi dapat menikmatinya. Meski menahan sampai malam, dan itu pun terkadang mereka meski rela melewatkannya karena mereka berdua lebih memilih untuk tidur ketimbang menikmati secangkir kopi.
“Apa yang sudah berakhir Gus?” Pertanyaan Agus, dibalas dengan pertanyaan kembali oleh Yusuf. Dua orang sahabat ini bertemu saat mereka melakukan BIM Test di lembaga mahasiswa yang sama. Keduanya merasa cocok saat pertama kali berkenalan, alasan utamanya ialah karena berasal dari satu daerah yang sama.
Sruputan kopi panas terasa nikmat saat Agus mencoba meminumnya. Sambil sekilas memandang ke arah jendela, ia menjawab pertanyaan kawannya tersebut, “Masa depan Tuhan Suf.” Mendengar jawaban kawannya, Yusuf terkaget, ia tak mengira akan mendengar pandangan liar orang yang telah lama ia kenal ini.
“Tuhan itu abadi Gus, tidak mungkin Ia akan berakhir.” Jawab Yusuf singkat kepada Agus. “Kamu seperti seorang yang hanya menggunakan akal saja Gus dalam menilai agama.” Yusuf sengaja berucap seperti itu, ia berharap Agus kembali mengingat agama yang pernah ia pelajari sedari dahulu. Tuhan itu abadi, Dia tak mungkin layu termakan jaman. Begitulah harapannya kepada teman satu kostnya.
“Menurutku Tuhan akan berakhir dalam waktu dekat Suf, Dia tak lagi dirasa oleh umat-Nya. Euphoria tentang Tuhan hanya ada dikala hari-hari besar islam saja. Itupun hanya di awal, selebihnya kembali seperti biasa, Tuhan masuk laci dalam kenangan manusia.” Agus kembali menyampaikan kegelisahannya malam ini. “Itu hanya terjadi pada sebagian manusia Gus.” Yusuf menimpalinya sembari menengguk kopi yang ada dihadapannya.
“Tapi, bagian itu merupakan bagian terbesar dari manusia Suf. Contohnya seperti ini, sederhana saja, kini kita memasuki bulan suci ramadhan. Kehadirannya begitu antusias oleh semua umat manusia. Bahkan saat kita baru memasuki bulan Sya’ban, manusia sudah mulai bergairah menunggu datangnya bulan ibadah tersebut. Namun setelah bulan di mana turunnya pertama kali ayat Al-Qur’an tersebut semuanya mulai sirna. Mulai terlupakan.” Dengan memandang wajah Yusuf, Agus menyampaikan perenungannya.
“Lantas hal tersebut tak dapat mematikan eksistensi Tuhan Gus, Tuhan itu kekal, seperti yang tercantum dalam sifat-sifat-Nya.” Yusuf mencoba menyakinkan kawan yang sudah mulai terlalu jauh dalam menjelajahi daya pikirnya.
“Kekekalan Tuhan telah lenyap dalam diri manusia kawan, seperti saat ini.” Agus tak mau kalah malam ini dalam menyampaikan apa yang pikirkan.
Agus teringat satu pesan yang disampaikan oleh Fahmi, kawan sekelasnya di bangku kuliah. Menurutnya pesan tersebut sangat memiliki makna yang mendalam, meski hanya disampaikan oleh seorang mahasiswa. Menurut kawannya tersebut, mari kita siapkan 30 hari terbaik kita dalam menjalani bulan suci ramadhan, agar siap menanti berjuta kejutan yang telah Tuhan siapkan kepada hamba-Nya. Menurutnya, pesan tersebut sangat tepat. Tuhan hanya meminta kita memberikan yang terbaik selama 30 hari penuh dalam setahun, agar umat-Nya dapat menyembah-Nya dengan penuh kenikmatan dan bersiap mendapatkan berjuta kejutan dari-Nya yang telah Dia janjikan kepada penduduk bumi tersebut.
Tuhan hanya meminta manusia untuk memberikan yang terbaik kepada-Nya dalam satu tahun. Seharusnya, hamba-hamba-Nya menjadikan sebelas bulan sebelumnya sebagai latihan agar dalam satu bulan tersebut dapat fokus memberikan ibadah yang penuh kepada-Nya.
“Manusia telah gagal memberikan yang terbaik kepada Tuhannya Suf.” Agus tiba-tiba kembali kepada pembicaraan awalnya kepada sahabatnya.
“Mereka juga perlu memenuhi kebutuhan kehidupannya Gus. Mereka butuh makan dan minum seperti hari biasanya. Mungkin seperti itu cara mereka ber-Tuhan dalam menjalani bulan penuh berkah ini.” Jawab Yusuf yang kali ini sudah mulai lelah menghadapi kawannya.
“Tuhan hanya meminta satu bulan dalam setahun. Tak lebih, dan kalau kelak kita sudah memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarga, ada baiknya kita menjadikan sebelas bulan sebagai bekal untuk mempersiapkan satu bulan yang penuh ampunan ini.” Obrolan mereka semakin dalam. Larut malam semakin tenggelam dalam kegelapan. Yusuf mulai membuka-buka buku untuk merefleksikan pikirannya. Agus semakin tenggelam dalam renungannya.
“Ide mu itu bagus, aku setuju.”
Agus menganggap jawaban dari kawannya sebagai kebosenan tersendiri pada malam itu.
“Semakin manusia terhimpit oleh kebutuhan dunianya, dan ia tak bisa menyiasati hal tersebut, semakin terbuka lebar Tuhan akan terlupakan oleh mereka. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tak mampu diimbangi oleh kita umat islam di Indonesia. Kita kalah oleh jaman, dan hal itu membuat kita semakin takut akan hari esok. Takut tak dapat makan dan minum. Takut tak dapat membahagiakan orang-orang tercinta. Ketakutan itulah yang membawa manusia terlena pada dunia dan jauh melupakan Tuhan semesta alam. Manusia sudah tak percaya lagi janji Tuhan-Nya tentang keselamatan dunia dan akhirat, tentang berjuta rahmat dan keberkahan apabila mereka mau menyembah sepenuh hati kepada-Nya, tentang segala sesuatu tentang kita yang telah diatur melalui kebijakan-Nya. Itu kegelisahan ku malam ini Suf, masjid sudah mulai sepi, padahal ini baru malam kesetujuh di bulan Ramadhan. Aku takut kelak sepeti itu, gagal memenuhi permintaan Tuhan meski hanya satu bulan saja kita diminta oleh-Nya agar fokus beribadah.” Yusuf mendengarkan kegelisahan kawannya dengan seksama. Ia pun mulai menyadari hal tersebut. Tuhan akan kalah dengan himpitan kebutuhan manusia.
“Tuhan akan tetap abadi Gus, Dia adalah Maha Segalanya, yang akan hilang di masa depan ialah rasa Tuhan pada diri manusia.” Yusuf mencoba menenangi pikiran kawannya. “Sudahlah, ini malam minggu tak perlu kau lanjutkan kegelisahan mu, akhir pekan diciptakan agar kita dapat istirahat sejenak dari rutinitas. Tenangkan pikiranmu tentang dunia, dan perdalam keyakinanmu tentang Tuhan agar kelak tak tersesat dalam menempuh kehidupan. Sekali lagi Tuhan itu Abadi, hanya ketuhanan manusialah yang akan sirna.” Yusuf mengakhiri segalanya malam itu, mereka lalu larut dalam perenungannya masing-masing. Kopi sudah kehilangan kehangatannya. Harumnya sudah tak mampu lagi terhirup. Namun rasanya akan tetap sama.

.kompasiana.com


Comments

No comments :