Join Ardo's empire

Kisah Negeri Tanah Surga



Pada suatu masa hiduplah satu bangsa di suatu wilayah kepualauan. Penduduknya hidup dengan aman, nyaman, tentram, adem- ayem. Mereka saling sayang menyayangi, saling menghormati, saling tenggang rasa, saling empati satu sama lainnya, tanpa pamrih dan tanpa maksud-maksud tersembunyi. Kegemaran mereka ialah bergotong-royong. Tidak ada yang menganggap dirinya atau kelompoknya lebih super dari yang lain. Sebaliknya, semua merasa setara, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

Penduduk negeri itu jauh pula dari usaha mengkotak-kotakkan diri, meski menyadari ada perbedaan diantara mereka sendiri-sendiri. Bagaikan pelangi, perbedaan itu memperindah penampilan mereka di mata bangsa lain. Perbedaan-perbedaan di antara penduduk negeri yang besar itu adalah kekayaan yang tak ternilai harganya, yang membuat iri bangsa-bangsa tetangga.

Para lelaki bangsa itu suka bertelanjang dada. Kata mereka, itu lambang dan bukti dari hati nurani yang bersih tanpa dusta. Tak ada yang mesti disembunyikan sebab mereka adalah bangsa yang jujur. Mereka juga tidak dapat membenci karena tidak mengijinkan alasan apapun untuk melakukannya.

Sopan-santun, ramah-tamah, suka memaafkan, tidak pendendam, menjadi tanda pengenal dan ciri khas yang cuma milik mereka saja. Adab dan susila yang tinggi menjadi nilai plusnya.

Mungkin itulah sebabnya bangsa ini menjadi sangat diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Segala kebutuhan rakyat negeri tersedia melimpah-ruah. Gemah ripah loh jinawi menaungi langit dan bumi negeri kepulauan itu. Namun pun begitu, tidak ada di antara pemimpin bangsa itu maupun rakyatnya yang menjadi tamak, serakah atau rakus. Mereka tetap mempertahankan pola hidup sederhana meskipun lumbung-lumbung berisi penuh.

Hutan-hutan negeri itu terjaga lestari. Airnya tetap senantiasa. Hewan-hewan hutan hidup sejahtera. Masing-masing daerah punya kearipan lokal untuk menjaga semua itu tetap terpelihara sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh pencipta langit dan alam semesta.

Bangsa-bangsa lain boleh iri dengan negeri ini. Puja dan puji senantiasa mengalir dari seluruh muka bumi. Sungguh suatu negeri yang subur makmur, kata mereka. Orang-orang itu menamainya dengan sebutan Tanah Sorga. Dan itu memang sangat tidak berlebihan.

Para petaninya mengeluarkan hasil-hasil bumi yang setara dengan nilai emas. Pelautnya pun sangat disegani. Laut manakah yang belum mereka taklukkan? Negeri agraris maritim itu memang sangat mengagumkan. Belum terhitung isi perut buminya yang menyimpan segala harta kekayaan.

Mengapakah semua itu boleh mereka miliki? Mengapa Tuhan Yang Maha Esa seolah menjadikan bangsa ini sebagai anak kesayangan layaknya? Diberi limpahan harta, diberi damai aman sentosa?

Rupanya bangsa itu memiliki lima aturan kehidupan yang senantiasa mereka junjung tinggi. Lima aturan hidup yang telah diwariskan oleh Yang Maha Kuasa sebagai milik pusaka mereka sendiri, yang tidak diberikan kepada bangsa lain mana pun.

Mereka sendiri tidak tahu apa nama lima aturan itu. Karena mereka tidak menorehkannya pada dinding batu, tetapi memahatnya pada hati nurani sendiri. Mereka juga tidak mengenal rumus-rumusnya. Karena mereka tidak menghafalnya, tetapi menghidupinya.

Lama setelah itu, habislah pendahulu-pendahulu negeri ini dijemput khaliknya. Dan entah mengapa anak cucu mereka telah menghapus lima aturan warisan/pusaka itu dari benak mereka. Memang anak cucu itu telah membuatkan gambar dan rumus tentang aturan itu. Tetapi mereka hanya memerintahtahkan dinding-dinding kantor atau diding sekolah untuk memeluknya. Ada juga yang dibiarkan kedinginan dalam dekapan tugu-tugu yang mereka bangun di kota. Sementara mereka sendiri enggan menjamahnya. Itu hanya kisah masa lalu, kata mereka.

Yang sangat mengherankan, sopan-santun, ramah-tamah dan sifat pemaaf mereka kini menguap entah ke mana. Tiba-tiba saja mereka menjadi bangsa yang beringas dan kejam, bahkan terhadap sanak bangsa sendiri. Tak ada lagi tenggang rasa. Tak ada lagi empati. Perasaan setara? Jangan ditanya. Di beberapa tempat, kerukunan menjadi barang mahal. Kedamaian, rasa aman, sentosa, juga sama mahalnya.

Anak-anak mereka kini tak mengenal welas asih lagi. Tawuran adalah pemandangan sehari-hari. Bahkan bunuh-membunuh menjadi pekerjaan yang sangat mudah dilakukan. Belum lagi kelakuan asusila yang, entah dari mana mereka dapatkan.

Sebagian laki-laki negeri itu sekarang sangat keranjingan dengangaya hidup bangsa gurun. Sebagian lagi terbius pula oleh pola hidup bangsa malam. Dan satu golongan lagi, memilih mengadopsi gaya gurun plus gaya bangsa malam.

Sebenarnya bangsa itu telah terkutuk. Murka yang empunya langit dan bumi telah menimpa mereka. Namun aneh sekali. Meskipun penderitaan demi penderitaan telah datang silih berganti, mereka seolah tidak mau perduli. Mereka serupa Firaun, tetap bebal meski tulah datang beruntun.

Kini langit Negeri Tanah Surga telah berubah menjadi tembaga. Buminya membara. Tetapi mereka tidak sadar juga. Ataukah mereka telah tersesat dan tak tau jalan kembali? Nun di sana, di puncak gunung, nenek moyang mereka hanya bisa berdoa. Semoga anak cucunya kembali hidup seperti sedia kala.

kompasiana
Comments

No comments :