Join Ardo's empire

Selembut Angin Senja di Juhu

“Sudah siap?” tanya Hendro pada Utari.

“Sudah Mas. Berangkat sekarang?” tanya Utari sambil membetulkan hijabnya. Menyematkan bross berbentuk bunga krisan di bahu kirinya lalu memeriksa lagi riasan wajahnya.

“Iya, sekarang aja Jeng. Hari ini hari Holi. Jalanan Mumbay akan sangat padat. Kalau tak berangkat pagi, kita akan terjebak lautan manusia yang memenuhi jalan. Ayo! Udah cantik kok.”

Hendro kemudian meraih tangan Utari dan menggenggamnya erat. Dipandangnya pantulan wajah mereka di cermin. Istrinya memang masih nampak pucat akibat sakit beberapa bulan lalu. Tapi wajahnya sudah mulai bersinar kembali. Kasih sayang dan perhatian Hendro padanya rupanya menjadi penyemangat untuk segera sembuh dan melanjutkan hidup.



“Kamu cantik sekali, Jeng. Perempuan paling cantik yang pernah kukenal,” kata Hendro seraya memeluk erat Utari dari belakang. Utari hanya tersenyum tipis dengan mata berbinar.

“Ayo Mas! Katanya takut terjebak perayaan Holi?!” Utari memeluk lengan Hendro dan berdiri seraya meraih tas berisi mukena. Hendro hanya mengangguk kudian melingkarkan lengannya di pinggang Utari lalu melangkah keluar apartemen mereka di pusat kota Mumbay.

Saat mereka sampai di luar, ternyata perayaan Holi sudah mulai. Suara tabla dan seruling, juga lagu-lagu India mengiringi mereka yang berpesta sambil menari dan saling melemparkan serbuk warna warni satu sama lain. Bahkan saat lautan manusia itu benar-benar menjebak mereka, mau tak mau baju mereka yang masih bersih pun akhirmya penuh dengan warna-warna meriah.

Tapi mereka tak perduli. Justru mereka larut dalam kegembiraan warga Mumbay yang sedang merayakan Holi. Hari bertabur warna.

“Seru ya Jeng?!” ujar Hendro saat mereka sudah bebas dari kerumunan. Duduk bersisihan dalam bus yang membawa mereka ke Juhu. Pantai terindah di Mumbay.

“Iya Mas. Seru banget. Mereka seolah larut dalam kebahagiaan. Seperti saya Mas. Saya juga sangat bahagia bisa bersanding dengan Mas Hendro,” Utari menyandarkan kepalanya di bahu Hendro.

“Sama Jeng. Aku juga sangat bersyukur dan bahagia, Allah sudah mempertemukan kita dan mengikat kita dalam halal.” Hendro menggenggam erat jemari Utari. Nampak dalam pandangannya jemari itu sangat kurus, bahkan terlihat tanpa daya.

“Mas Hendro tidak menyesal?”

“Apa yang harus kusesali? Mendapatkan anugrah seorang istri yang begitu cantik dan sholeha, nikmat mana lagi yang akan kudustakan?”

“Tapi saya tidak sempurna Mas. Allah sudah mengambil kembali rahim saya sebelum kita sempat punya momongan,” lirih tutur Utari. Terbayang kembali perjuangannya menantang maut beberapa bulan lalu.

“Aku mencintaimu bukan karena rahimmu. Ada atau tidak rahim itu padamu bukan masalah buatku. Allah pemiliknya, maka ketika Dia mengambil rahim itu kembali, kita tak bisa mencegahnya. Kita hanya bisa berserah dan mengambil hikmah Jeng.” Hendro melingkarkan lengannya di bahu Utari dan membawa pemiliknya dalam dekapannya.

“Terima kasih untuk kebesaran jiwamu Mas. Saya semakin bersykur bersanding denganmu. Saya merasa sempurna meski senyatanya tidak.”

“Kesempurnaan hanya milik Allah Jeng. Kita ini sungguh tak ada apa-apanya. Hanya setitik debu terserak. Atau serupa daun gugur tertiup angin”

“Saya tahu Mas.”

Keduanya kemudian terdiam. Utari menikmati dekapan suaminya. Matanya pun terpejam dan tak lama dia pun terlelap. Sementara Hendro seperti tak ingin melewatkan satu detik pun untuk menjaga Utari. Lengannya tetap terlingkar di bahu Utari. Sesekali dibetulkannya letak kepala Utari yang kadang terkulai ke dadanya. Dijaganya agar tidurnya nyaman.

“Lantas, apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Utari saat mereka telah sampai di Juhu. Sore tengah menjemput senja. Ufuk barat mulai menguning.

“Setelah ini?” Utari mengangguk. “Banyak Jeng. Kita akan lakukan banyak hal berdua. Jika berdua saja sudah mulai membosankan, kita akan adopsi beberapa anak. Kau kan suka sama aktor dan artis India? Kita adopsi saja anak-anak India. Meeka pasti gantwng dan cantik setelah dewasa nanti”

“Tapi apa tumon ta Mas, ada orang Jawa anaknya India?”

“Biar saja. Biar unik,” lalu keduanya pun tergelak.

“Jeng, apa pun yang terjadi, aku ingin kita tetap bersama. Saling menguatkan dan menyemangati. Kita akan menjemput senja kita bersama. Sampai senja berubah malam. Bantu aku ya Jeng? Bantu aku jadi imam yang baik untukmu.”

“Sama-sama kita saling mengingatkan Mas. Saya juga ingin jadi istri yang baik untukmu. Sampai maut memisahkan kita dan kita bertemu kembali di keabadian. Aku mencintaimu Mas….” Utari menatap lekat mata Hendro, lelaki yang sudah memberinya sesuatu yang luar biasa berjuluk cinta. Senja yang makin jingga membingkai siluet mereka.

“Aku juga. Aku juga mencintaimu Jeng. Lillahi ta’ala….” Dan sebuah kecupan manis pun mendarat di kening Utari. Lembut, selembut angin senja di Juhu.


kompas
Comments

No comments :